Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi
Sistem pendidikan itu sangat beragam, sejalan dengan keragaman
pandangan manusia terhadap kehidupan, mulai dari pandangan optimistis
hingga pandangan pesimistis. Demikian, penjelasan tentang kehidupan dan
peranannya dalam Islam menjadi sesuatu yang sangat penting.
1. Kehidupan: Ajang ujian dan cobaan Allah
Islam memandang kehidupan dengan kesungguhan serta sikap tanggung jawab.
Jika kita memperhatikan pandangan Islam terhadap manusia, kita akan
menemukan bahwa kehidupan manusia itu mengalami proses penciptaan yang
diawali dengan peristiwa Allah menciptakan Adam dari tanah kemudian
menyempurnakannya serta meniupkan kepada manusia sebagian dari ruh-Nya.
Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya.
“Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali
iblis. Ia enggan ikut bersama-sama [malaikat] yang sujud itu.” (al-Hijr:
30-32)
Sejak awal kehidupan manusia, Allah telah memberikan keistimewaan
lebih kepada species manusia dibanding malaikat atau makhluk lainnya.
Keistimewaan pertama terletak pada pemilikan ilmu, akal, kemauan,
ikhtiar, dan kemampuan membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Keistimewaan kedua terletak pada asal-usulnya. Manusia diciptakan dari
tanah, darah dan daging. Sebagai implikasinya, manusia diciptakan dengan
memiliki syahwat, naluri dan hal-hal yang muncul dari naluri tersebut,
yang di antaranya berbentuk kebodohan, pertumpahan darah, kerusakan,
kerugian, kemalasan, keluh kesah, dan kerakusan. Allah berfirman:
“….Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
“Demi maasa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih…”
(al-‘Ashr: 1-3)
“….Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau?” (al-Baqarah: 30)
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah.” (al-Ma’aarij: 19-20)
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (al-‘Aadiyaat: 8)
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 20)
Ayat tersebut menunjukkan naluri ketamakan dan kecintaan manusia pada harta.
“….dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (an-Nisaa’: 28)
Ayat tersebut menunjukkan adanya naluri manusia untuk mengikuti sesuatu yang lebih kuat.
“…..adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (al-Israa: 11)
Ini menunjukkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang selalu tergesa-gesa dan cenderung tidak sabar.
“….dan adalah manusia itu sangat kikir.” (al-Israa’: 10)
“Tetapi kamu [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi.” (al-A’laa: 16)
Sesungguhnya Allah telah memadukan dua keistimewaan manusia tersebut
dengan sifat-sifat manusiawi yang berlawanan. Artinya, Allah telah
memberikan kemampuan kepada manusia untuk memilih kebaikan atau
keburukan. Untuk mengimbangi kekurangan manusia, Allah telah menyertakan
pengontrol berupa akal, yang mengingatkan manusia pada syariat dan
penyembahan kepada Allah. Pemahaman atas aspek diri, semesta, kehidupan,
serta perpadanan dan hubungan saling menyempurnakan antaraspek
memerlukan perenungan deskriptif kehidupan dari al-Qur’an. Dengan
demikian, Islam telah menjadikan kehidupan duniawi sebagai ajang ujian
dan cobaan yang harus dilalui manusia untuk mencapai kehidupan kekal di
akhirat kelak. Di akhiratlah manusia akan dihisab, apakah kenikmatan
atau kebinasaan yang akan di alaminya.
2. Ujian dan Cobaan Allah terhadap Manusia Pertama.
Kehidupan manusia diawali oleh pengujian Allah kepada Adam, manusia
pertama yang diciptakan Allah. Ketika itu Allah melarang Adam mendekati
syajaratul khuldi (pohon kekekalan). Datanglah iblis yang menggoda Adam
untuk memakan buah pohon surga ini. “…. dan durhakalah Adam kepada Tuhan
dan sesatlah ia.” (Thaahaa: 121).
Akibat kelalaian tersebut Adam diturunkan ke bumi dan mulailah babak
baru permusuhan manusia dengan iblis. Untuk bekal Adam di bumi, Allah
menerima tobat Adam, “Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima
tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 122). Dengan demikian Allah
memberi petunjuk unttuk membedakan kebaikan dan keburukan lewat wahyu
dan syariat kepada Adam dan turunannya.
Penurunan Adam dan iblis dari surga merupakan awal mulainya ujian
Allah kepada setiap manusia sehingga berlakulah berbagai konflik batin,
antara kebaikan dan keburukan, antara keimanan dan kekafiran, serta
antara pengikut syariat dan pengikut hawa nafsu.
Dengan turunnya syariat dan ajaran Islam, manusia diharapkan akan
mampu mengatasi konflik-konflik tersebut. Al-Qur’an dan as-Sunnah yang
merupakan sumber utama syariat Islam harus menjadi bahan renungan
manusia. Seruan-seruan di dalamnya, diantaranya adalah seruan Allah
tentang konflik panjang manusia sejak Adam. Seruan-seruan tersebut
tersebut diantaranya terdeskripsikan setelah pengisahan Adam, seperti:
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat
kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya
Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi
orang-orang yang tidak beriman.” (al-A’raaf: 27)
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki)
mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raaf:
31)
“Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu
yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa
dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-A’raaf: 35-36)
Kemudian, dalam puluhan ayat lainnya, Allah menerangkan hasil akhir
orang-orang yang beruntung dan yang rugi. Maka Dia memasukkan kaum
mukminin yang menyambut seruan-Nya ke dalam surga Na’im.
3. Sifat kehidupan dunia menurut al-Qur’an
Karena hanya berisi kesenangan sementara, dunia bukan tujuan akhir
manusia. Karenanya manusia dikatakan tertipu jika dia melupakan tujuan
akhir yang diciptakan Allah untuknya, yaitu akhir yang abadi. firman
Allah:
“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan)
akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan
ditolong.” (al-Baqarah: 86)
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya
akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia
serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang
melalaikan ayat-ayat Kami, Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan
apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 7-8)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16)
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imraan: 14)
“…Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan
di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah: 38)
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi …..” (al-Qashash: 77)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
bagi orang-orang yang mengetahui.” (al-A’raaf: 32)
Kutipan terjemahan ayat-ayat di atas mengisyaratkan hubungan manusia
dengan dunia serta sifat-sifat dunia yang penting kita ketahui. Sifat
ini, diantaranya, adalah:
– Pertama, dunia adalah gambaran kesenangan yang sementara atau hanya
sebagai sarana lintasan manusia untuk menuju ke akhirat. Karenanya
dunia bukanlah tujuan terakhir manusia.
– Kedua, dunia sangat sarat perhiasan, keindahan, nafsu, syahwat, dan
kelezatan yang justru inilah ujian dan cobaan hakiki bagi manusia.
– Ketiga, seorang muslim boleh, bahkan berhak menikmati keindahan
dunia dalam batas yang sesuai syar’i. Dia dapat menikmati dunia
bersama-sama orang kafir atau orang yang melihat Allah dari segi
material [agnotis] dengan syarat tidak mendorong kelalaian kepada Allah.
Dia dapat memiliki harta dengan pengeluaran zakatnya atau mempunyai
anak untuk dididik ketaatan kepada Allah. Artinya seorang muslim dapat
menikmati perkara yang dibolehkan syariat dengan tujuan untuk
mengamalkan syariat tersebut.
– Keempat, dunia memiliki kaidah-kaidah sosial dan kamanusiaan yang
diwujudkan dalam bentuk masyarakat dan bangsa. Barangsiapa yang berusaha
di dunia, hasilnya akan dirasakan di dunia. Dan barangsiapa yang
menaklukkan dunia untuk keridlaan Allah, dia akan beruntung dunia dan
akhirat.
– Kelima, rentang waktu kehidupan di dunia ini sangatlah singkat tidak lebih dari sesaat menurut perhitungan akhirat.
“(yaitu) di hari (yang di waktu itu) ditiup sangkakala dan Kami akan
mengumpulkan pada hari itu orang-orang yang berdosa dengan muka yang
biru muram; mereka berbisik-bisik di antara mereka: “Kamu tidak berdiam
(di dunia) melainkan hanyalah sepuluh (hari)” Kami lebih mengetahui apa
yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling Lurus jalannya di
antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia), melainkan hanyalah sehari
saja”. (Thaahaa: 102-104)
– Keenam, kehidupan dunia adalah ajang keletihan, kerja keras, dan kesungguhan, sebagaimana firman Allah:
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (al-Isyiqaq: 6)
– Ketujuh, orang-orang yang beriman akan mendapatkan pertolongan
Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Pada dasarnya, tujuan kehidupan
dunia ini bukan untuk melahirkan kekafiran dan kerusakan sebagaimana
difirmankan Allah:
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari
kiamat).” (al-Mu’min: 51)
– Kedelapan, kehidupan dunia lebih banyak digunakan sebagai permainan, senda gurau, dan kebanggaan oleh manusia. Firman Allah:
“Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian
menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takaatsur: 1-2)
4. Aspek Pendidikan Kehidupan Dunia.
Pemahaman mendalam terhadap kehidupan dunia akan membawa sekaligus
mendidik kaum muslimin pada pemahaman berbagai persoalan hidup dan
terbiasa untuk hidup positif, terutama untuk hal-hal berikut:
– Pertama, seorang muslim harus berupaya keras menghindarkan tipuan
dunia yang dapat melalaikannya dari tujuan penciptaan manusia. Hendaknya
ia mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, waspada, bersabar dalam
menghadapi bencana, dinamis, serta sering bermuhasabah agar tidak
terpaku pada tujuan duniawi.
– Kedua, walaupun harus mengutamakan akhirat, seorang muslim tidak
lantas harus menutup diri dari kebaikan dunia. Artinya, fasilitas dunia
dia manfaatkan untuk kelancaran ibadah kepada Allah serta mengarahkan
segala kenikmatan dunia ini untuk meraih keridlaan Allah.
– Ketiga, dengan pemahaman bahwa dunia ini adalah ajang ujian dan
cobaan Allah, seorang muslim hendaknya bersabar dalam menghadapi
persoalan dunia. Artinya hidupnya jauh dari rasa putus asa karena di
dalam dirinya telah dipersiapkan kesabaran dan perjuangan.
– Keempat, setiap individu atau kelompok manusia harus bersiap diri
memerangi musuh yang menghambat berkibarnya kebenaran dan keutamaan.
Hendaknya kita tersadarkan bahwa Allah adalah penolong umat yang
mewujudkan keimanan dalam perilakunya, mengikuti Kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya, serta memanfaatkan aneka potensi kekuatan dan keperkasaan
sesuai dengan perintah Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar